Pages

Sebab Cintaku Padamu

Saudariku…….
Ku tau dan dapat memahami apa yang engkau rasakan
Betapa lama engkau memendam perasaan itu,,
Serta lamanya engkau terombang-ambing karena perasaan itu.,
Itu mungkin wajar ukhti..
Itu fitrah…
Akan tetapi janganlah engkau terjatuh karenanya..
Jangan pula engkau terlena,,
Sebab saat ini belum pantas bagimu untuk menikmatinya…
Jika engkau benar-benar mencintai seseorang,,
Terkagum karena agama dan kebaikan yang ada pada dirinya,,
Maka berdo’alah agar nanti engkau bisa bersatu dengannya dengan ikatan pernikahan,,
Namun, jika itu tidak terwujud di dunia,,



Maka sebaik-baik tempat kembali dan berkumpul ialah JannahNya
Maka janganlah engkau berputus asa,, berdo’alah kepada Alloh
Agar kalian dipersatukan dalam jannahNya.
Dan untuk saat ini,,
Maka tinggalknlah ia dan sibukkan dirimu dengan amal sholeh dan tholabul ‘ilmi
Mengapa ??
Sebab tidak mungkin engaku dan dia menikah untuk saat ini
Sedangkan jika engkau terus memikirkannya,
maka engkau hanya akan mndzolimi dirimu sendiri.
Janganlah berlaku egois,,
Hanya memikirkan perasaan sendiri tanpa mau memikirkan orang lain.
Hanya mengutamakan nasfu dibanding pemikiran rasional.
Mungkin engkau bahagia sebab nafsu untuk bercengkerama atau sekedar bertegur sapa dengannya (telp./sms) telah terealisasi..
Akan tetapi saudariku,,,,
Pernahkah engkau berfikir,,bagaimana dengan dia??
Bagaimana jika ia terkena fitnah dengan apa yang engkau lakukan??? Padahal beberapa kali ia mencoba untuk menghindar..
Namun ia adalah seorang lelaki normal,,, sejatinya lelaki memiliki hasrat terhadap wanita dan demikian pula halnya wanita.
Maka jadilah wanita yang mampu untuk mengerti

Yaa ukhti fillah
Marilah menjaga kesucian diri,, lalu mengusahakan pula terhadap orang lain…
Dimasa sekarang ini begitu sulit menemukan orang-orang yang menjaga kesucian hati dan jasatnya..
Maka marilah menjadi orang-orang yang menjaga kesucian jiwa.
Menjaga diri agar tak terkena fitnah sebisa mungkin.
Sungguh ukhti,,
Tak ada penyakit yang lebih menakutkan dan berbahaya dibanding penyakit hati yang menimpah anak cucu adam..
Akan tetapi kita harus semangat serta berusaha sebisa mungkin agar terhindar darinya.
Jangan biarkan nafsu menguasai jiwa-jiwa kita.

Saudariku…
Semua orang sejatinya pasti menginginkan sesuatu yang baik lagi suci,,
Akan tetapi,,
Bagaimana mungkin kita akan mendapatkan kebaikan serta kesucian dengan cara yang salah ????
Memperoleh kebaikan dan kesucian melalui cara dan jalan yang salah hanya akan mengurangi bahkan merusak kebaikan lagi kesucian tersebut.

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)” (QS. An Nuur :26)

Jadi,, untuk mendapatkan pasangan yang baik maka jadilah wanita yang baik pula.
Jika suatu saat engaku kecewa sebab laki-laki yang kau cintai lagi engkau tunggu sejak lama pada akhirnya memilih wanita lain,,
Maka janganlah kecewa. Sebab hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama ialah engaku begitu baik dan sayang untuk dapat bersanding dengannya sedangkan kemungkinan ke dua ialah dia begitu baik untukmu atau ada wanita lain yang lebih baik agama dan akhlaqnya darimu yang lebih pantas untuknya.
Seorang yang benar-benar sunni salafy tak akan memilih wanita yang berbeda manhaj dan buruk kepribadiannya. Sebaliknya, wanita yang taat lagi bertaqwa pada Robbnya tak akan mau dinikahkan dengan seorang ikhwan yang tidak semanhaj lagi buruk kepribadiannya.

Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab
Read More..

Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya


Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)


“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13).

Wallahu A’lam Bis Shawab.
Read More..

Nashihat Ulama

Penulis: Asy-Syaikh / Al-Allamah Robii’ bin Haadiy Al-Madkholiy –Hafizhohullahu- 

Asy-Syaikh / Al-Allamah Robii’ bin Haadiy Al-Madkholiy –Hafizhohullahu- بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه أما بعد : 

Maka sesungguhnya disebabkan berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa islam dan kaum muslimin serta kehinaan dan kerendahan mereka dihadapan musuh-musuhnya yang telah mengerumuni mereka sebagimana halnya orang-orang yang sedang lapar mengerumuni santapannya. Saya mengajak para ‘Ulama kaum Muslimin dan yayasan-yayasan atau organisasi-organisasi ilmiyah disegala penjuru dunia. Dan kepada para pemimpin kaum muslimin seluruhnya untuk mereka bertaqwa kepada Allah dalam permasalahan ummat ini. Dan untuk mereka mengetahui bahaya-bahaya yang mengancam ummat, bahkan malapetaka ,dan bencana yang telah menimpa mereka. kemudian hendaklah mereka segera bertindak berdasarkan rasa tanggung jawab mereka dihadapan Allah , Untuk menyelamatkan Ummat ini dari bala dan kecelakaan yang telah menimpanya juga hendaklah mereka bersegera (sedini mungkin) mengerahkan seluruh cara, yang akan membantu mengeluarkan kaum muslimin dari semua ini.dan yang terpenting diantaranya (cara/jalan tersebut) adalah: “Kembali kepada dien mereka yang haq”, baik dari sisi aqidah,ibadah , akhlaq dan politik, kemudian hendaklah mereka menetapkan metode-metode yang benar yang bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulnya -shallallahu’alaihi wasallam- . dan apa yang dijalani salafus sholih,lalu mendidik generasi diatasnya, dimesjid –mesjid , sekolah –sekolah dengan berbagai tingkatannya, dan di berbagai media massa. Berpedoman dengan perkataan Rasul yang mulia –shallallahu ‘alaihi wasallam- قول الرسو ل الكريم صلى الله عليه و سلم : " كلكم راع و كلكم مسئو ل عن رعيته " Artinya : “Tiap-tiap kalian adalah pemimmpin dan tiap-tiap kalian akan ditanyai (pertanggung jawabannya) tentang yang dia pimpin .”(1) Dan ucapan Rasul yang mulia –shallallahu ‘alaihi wasallam- : قو ل الرسو ل الكريم صلى الله عليه وسلم : إذا تبا يعتم بالعينة ورضيتم بالزرع واتبعتم أذناب البقر وتركتم الجهاد في سبيل الله سلط الله عليكم ذلا لاينز عه عنكم حتى ترجعوا إلى دينكم . Artinya : “Jika kalian telah jual-beli dengan cara ‘iinah,ridho , (larut) dalam cocok tanam, dan pertenakan serta meniggalkan jihad fiisabiilillah. Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan ,yang Allah tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali ke dien kalian “.(2) Dan tidak diragukan lagi bahwa ummat ini , telah terjerumus kedalam perkara yang terjelek diantara perkara –perkara tersebut,sehingga akhirnya membawa mereka kapada keadaan yang sedemikian pahit . Dan meletakkan dihadapan mereka :firman Allah : قول الله تعالى : وما كان لمؤ من ولا مؤ منة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن تكون لهم الخيرة من أمرهم . Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi wanita yang mu’minah Apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain ) tentang urusan mereka . (Al-Ahzaab:36). Ketahuilah! selama-lamanya kalian tidak akan mendapatkan solusi untuk menyelamatkan ummat ini kecuali harus melalui jalan ini , dan adapun yang mengambil jalan yang lain, tidaklah itu akan menambahkan kepada ummat ini melainkan kehancuran dan kehinaan. Dan sesungguhnya musuh –musuh islam tak satupun yang bisa membikin mereka ridho, kecuali keluarnya ummat ini dari diennya. قول الله تعالى : "ولن ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم " Artinya : “ Orang-orang Yahudi dan Nasharo tidak akan pernah ridho kepadamu , sehingga kamu mengikuti millah mereka. (Al-baqoroh. 120). Saya memohon kepada Allah Rabb Arsys yang besar agar mudah-mudahan memberikan taufiq kepada ummat, pemimpinnya, Ulamanya, serta masyarakat-masyarakatnya , untuk segera mengambil peneyebab –penyebab yang bermanfaat ini, dan menyatukan hati dan kalimat mereka diatas al-Haq. Dalam kesempatan ini, saya tujukan nasehat saya kepada orang-orang yang telah diberi taufiq oleh Allah untuk mengikuti manhaj salaf As-sholih. Agar kiranya bertaqwa kepada Allah dan senantiasa muroqabatullah , secara dzohir dan bathin, dan berbuat ikhlas dalam seluruh perkataan dan ‘amalan-‘amalan mereka kepada Allah , dan hendaklah mereka menyingsingkan lengan (bersungguh-sungguh). Untuk menuntut ilmu yang bermanfaat.. Juga saya wasiatkan kepada para pemilik di jaringan . dijaring laba-laba –internet– hendaklah mereka menjadikan jaringan –jaringan ini sebagai media yang akses dalam menyebarkan manhaj salaf secara ilmiyah dan benar di seluruh sajian mereka melalui media-media yang sudah disediakan buat mereka. Dan hendaklah yang tampil untuk itu (penyajian-penyajian tersebut ) para ‘ulama yang mapan dalam manhaj ini terlebih lagi mereka orang yang khusus (spesialisnya) . Maka barang siapa yang spesialisasinya tafsir Al-Qur’an yang mulia hendaklah ia menulis permasalahan-permasalahan tafsir dan ilmu-ilmunya. ibadah ,mu’amalah-mu’amalah akhlaq –akhlaq dari ayat –ayat yang ia tafsirkan. Sebagaimana mengarah kepada usul-usul tafsir dan jenis-jenisnya. Dan yang spesialisasinya dibidang hadits , hendaklah mengeluarkan perkataan –perkataannya dari sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan hendaklah dia mengasaskan permasalahan-permasalahan aqidah dan yang selainnya. Sebagaimana yang kami sebutkan pada saudaranya si Ahli Tafsir di atas, sebagaimana layak baginya menulis makalah-makalah dalam ilmu mushtholah dan Biografi Imam-imam Hadits. Dan hendaklah orang yang spesialisasinya fiqh menulis makalah-makalahnya dibidang ini juga, hendaklah dia memilih diantara yang bisa membantu para penuntut ilmu untuk memahami kitabullah dan sunnah Rasulnya –shallallahu ‘alaihi wasallam- sekaligus menyertakan dalil-dalil disetiap permasalahan yang dia bahas di tiap-tiap pembahasan. Dan hendaklah orang yang spesialisasi di bidang tarikh menulis tentang sirah perjalanan hidup Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam - , Sahabatnya serta ‘Ulama yang memiliki bukti yang jelas dalam membela islam dari kalangan ummat ini . Dan hendaklah orang yang spesialisasinya di bidang bacaan dan tajwid menulis permasalahan- permasalahan dibidang ini pula . Dan Hendaklah orang yang spesialisasinya di bidang bahasa menulis makalah dibidang bahasa pula dengan syarat dia harus menjauhi perkara –perkara yang tidak diakui oleh manhaj salaf ,seperti majaz beserta jenis-jenisnya . dan janganlah tampil untuk mengkritik ahlul bid’ah dan membantah kebathilan –kebathilan mereka kecuali para ‘ulama (orang yang berilmu) Dan saya mohon kepada orang-orang yang bertanggung jawab atas jaringan-jaringan ini seperti sahaab dan teman-temannya agar tidak menerima makalah –makalah. Kecuali yang di cantumkan padanya nama-nama (penulisnya dengan jelas, dan janganlah mereka menerima orang-orang yang menggunakan nama palsu/ samaran.) Sebagaimana saya mohon kepada kaum muslimin secara umum agar menjauhi pertikaian dan penyebab-penyebab perselisihan dan kalau seandainya itu terjadi dikalangan sebagian ikhwah , janganlah mereka memperbanyak jidal -debat dan janganlah mengedarkan mamasukkan sedikitpun darinya kedalam jaringan internet salafiyah atau yang lainnya. Akan tetapi hendaklah mereka mengembalikannya kepada para ‘Ulama agar mereka (para ‘ulama) berkata padanya dengan perkataan yang haq yang insya Allah bisa menyelesaikan perselisihan tersebut . dan saya nasehatkan kepada ikhwah agar bersemangat dalam menyebarkan ‘ilmu yang bermanfaat , dan penyebab-penyebab timbulnya mahabbah = rasa cinta dan ukhwah =persaudaraan diantara mereka . Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita semua dan terhadap apa yang dia cintai dan ia ridhoi , dan mudah-mudahan Allah menyatukan hati kita semua. sesungguhnya Rabbku benar-benar mendengar Do’a. Ditulis oleh: Syaikh Rabii’ bin Haadiy Umair Al-Madkholiy Tgl . 25 Dzul qo’dah 1424 H. Diterjemahkan oleh: ABU HISYAAM AS-SALAFIY (http://thullabulilmiy.or.id/modules/news/article.php?storyid=6)
Read More..

Nasehat Bagi Para Wanita Lajang


Penulis: Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’ah Al-Muslimah Fadhilatusy 

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: 

Saya ingin meminta nasehat dari anda, Fadhilatusy Syaikh, pada satu masalah yang khusus bagi saya dan seluruh teman-teman saya dari kalangan wanita. Ketahuilah bahwa telah ditentukan oleh Allah bagi kami bahwa kami belum memiliki kesempatan untuk menikah, sementara kami telah melalui usia menikah dan mendekati usia lanjut. Ini bisa diketahui dan bagi Allah segala pujian serta Allah-lah yang menjadi saksi atas perkataan saya ini. Padahal kami memiliki derajad akhlak dan seluruh dari kami telah meraih gelar kesarjanaan. Akan tetapi inilah nasib kami-Alhamdulilah-dan juga sisi materi, inilah yang menyebabkan tidak seorangpun berani untuk melakukan pernikahan dengan kami. Sungguh keadaan pernikahan di negeri kami dilakukan atas kerja sama antara suami istri dengan pertimbangan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Saya mengharap nasehat dan petunjuk bagi diri saya dan teman-teman. Jawaban : Nasehat yang saya sampaikan kepada para wanita yang seperti ini keadaannya yang tertunda untuk menikah-sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh penanya-untuk berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdo’a dan menundukkan diri kepada-Nya agar Ia berkenan menyiapkan untuk mereka para suami yang diridhai agama dan akhlak mereka. Bila seseorang jujur niatnya di dalam berdo’a dan berusaha menyingkirkan penghalang-penghalang terkabulnya do’a,maka sungguh Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku. (Al Baqarah:186) “Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir:60) Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurutkan terkabulnya do’a setelah seseorang menyambut panggilan (ajakkan) Allah dan mengimaninya. Maka saya tidak melihat sesuatu yang lebih kuat dibanding sikap berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdo’a dan tunduk kepada-Nya serta menunggu jalan keluar dengan sabar. Telah tetap riwayat dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya pertolongan (kemenangan) disertai dengan kesabaran, kelonggaran itu disertai dengan kesusahan, dan bersama kesulitan ada kemudahan.” Bagi para wanita tersebut dan yang seperti mereka keadaannya, mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memudahkan urusan mereka dan disediakan bagi mereka pria- pria yang shaleh yang menginginkan kebaikkan agama dan dunia mereka. Allahu a’lam. (Fatawa Al Mar’ah hal.58) ( Dinukil dari Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’ah Al-Muslimah Bab Nikah wa Thalaq, Edisi Bahasa Indonesia “Fatwa-Fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian, Penerbit Qaulan Karima Purwokerto/ Cet.I )
Read More..

Meraih Kebahagiaan Hakiki

Penulis: Al Ustadz Abdurrahman Lombok 

          Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit yang mengerti arti bahagia yang sesungguhnya. Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan teresebut adalah bagaimana hidup bahagia. Hidup bahagia merupakan cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah Subhanahu Wata'ala. 
        Apabila kebahagian itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, maka mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Akan tetapi tidak dia dapati dan sia-sia pengorbanannya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan, maka mereka telah siap mengorbankan apa saja yang dituntutnya, begitu juga teryata mereka tidak mendapatkannya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketenaran nama, maka mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak dapati. Demikianlah gambaran cita-cita hidup ingin kebahagiaan. Apakah tercela orang-orang yang menginginkan demikian? Apakah salah bila seseorang bercita- cita untuk bahagia dalam hidup? Dan lalu apakah hakikat hidup bahagia itu? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban agar setiap orang tidak putus asa ketika dia berusaha menjalani pengorbanan hidup tersebut. Hakikat Hidup Bahagia Mendefinisikan hidup bahagia sangatlah mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata dan sangat mudah untuk disusun dalam bentuk kalimat. 

Dalam kenyataannya telah banyak orang yang tampil untuk mendifinisikannya sesuai dengan sisi pandang masing-masing, akan tetapi mereka belum menemukan titik terang. Ahli ekonomi mendifinisikannya sesuai dengan bidang dan tujuan ilmu perekonomian. Ahli kesenian mendifinisikannya sesuai dengan ilmu kesenian. Ahli jiwa akan mendifinisikannya sesuai dengan ilmu jiwa tersebut. Mari kita melihat bimbingan Allah Subhanahu Wata'ala dan Rasul-Nya Muhammad Shalallahu 'Alahi Wasallam tentang hidup bahagia. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman: Kamu tidak akan menemukan satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling cinta- mencinta kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka adalah bapak- bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka dan keluarga-keluarga mereka. Merekalah orang-orang yang telah dicatat dalam hati-hati mereka keimanan dan diberikan pertolongan, memasukkan mereka kedalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai dan kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah. Ketahuilah mereka adalah (hizb) pasukan Allah dan ketahuilah bahwa pasukan Allah itu pasti menang. Dari ayat ini jelas bagaimana Allah Subhanahu Wata'ala menyebutkan orang-orang yang bahagia dan mendapatkan kemenangan di dunia dan diakhirat. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wata'ala dan hari akhir dan orang-orang yang menjunjung tinggi makna al-wala' (berloyalitas) dan al-bara' (kebencian) sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu Wata'ala dan Rasulullah Shalallahu 'Alahi Wasallam. 

As-Sa'di dalam tafsir beliau mengatakan: "Orang-orang yang memiliki sifat ini adalah orang-orang yang telah dicatat di dalam hati-hati mereka keimanan. Artinya Allah mengokohkan dalam dirinya keimanan dan menahannya sehingga tidak goncang dan terpengaruh sedikitpun dengan syubhat dan keraguan. Dialah yang telah dikuatkan oleh Allah dengan pertolongn-Nya yaitu menguatkanya dengan wahyu-Nya, ilmu dari-Nya, pertolongan dan dengan segala kebaikan. Merekalah orang-orang yang mendapatkan kebagian dalam hidup di negeri dunia dan akan mendapatkan segala macam nikmat di dalam surga dimana di dalamnya terdapat segala apa yang diinginkan oleh setiap jiwa dan menyejukkan hatinya dan segala apa yang diinginkan dan mereka juga akan mendapatkan nikmat yang paling utama dan besar yaitu mendapatkan keridhaan Allah dan tidak akan mendapatkan kemurkaan selama - lamanya dan mereka ridha dengan apa yang diberikan oleh Rabb mereka dari segala macam kemuliaan, pahala yang banyak, kewibawaan yang tinggi dan derajat yang tinggi. Hal ini dikarenakan mereka tidak melihat yang lebih dari apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata'ala". Abdurrahman As-sa'dy dalam mukadimah risalah beliau Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa'idah hal. 5 mengatakan: "Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati dan hilangnya kegundahgulanaan darinya itulah yang dicari oleh setiap orang. Karena dengan dasar itulah akan didapati kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki". Allah berfirman: 

Barang siapa yang melakukan amal shleh dari kalangan laki-laki dan perempuan dan dia dalam keadaan beriman maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik dan membalas mereka dengan ganjaran pahala yang lebih baik dikarenakan apa yang telah di lakukannya. As-Sa'dy dalam Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa'idah halaman 9 mengatakan: "Allah memberitahukan dan menjanjikan kepada siapa saja yang menghimpun antara iman dan amal shaleh yaitu dengan kehidupan yang bahagia dalam negeri dunia ini dan membalasnya dengan pahala di dunia dan akhirat". Dari kedua dalil ini kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagian hidup itu terletak pada dua perkara yang sangat mendasar : Kebagusan jiwa yang di landasi oleh iman yang benar dan kebagusan amal seseorang yang dilandasi oleh ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shalallah 'Alahi Wasallam. 

Kebahagian Yang Hakiki dengan Aqidah Orang yang beriman kepada Allah dan mewujudkan keimanannya tersebut dalam amal mereka adalah orang yang bahagia di dalam hidup. Merekalah yang apabila mendapatkan ujian hidup merasa bahagia dengannya karena mengetahui bahwa semuanya datang dari Allah Subhanahu Wata'ala dan di belakang kejadian ini ada hikmah-hikmah yang belum terbetik pada dirinya yang dirahasiakan oleh Allah sehingga menjadikan dia bersabar menerimanya. Dan apabila mereka mendapatkan kesenangan, mereka bahagia dengannya karena mereka mengetahui bahwa semuanya itu datang dari Allah yang mengharuskan dia bersyukur kepada-Nya. Alangkah bahagianya hidup kalau dalam setiap waktunya selalu dalam kebaikan. Bukankah sabar itu merupakan kebaikan? Dan bukankah bersyukur itu merupakan kebaikan? Diantara sabar dan syukur ini orang-orang yang beriman berlabuh dengan bahtera imannya dalam mengarungi lautan hidup. Allah berfirman; Jika kalian bersyukur (atas nikmat-nikmat-Ku ), niscaya Aku akan benar-benar menambahnya kepada kalian dan jika kalian mengkufurinya maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". Rasulullah Shalallah 'Alahi Wasallam bersabda: Dan tidaklah seseorang di berikan satu pemberian lebih baik dan lebih luas dari pada kesabaran". ( HR. Bukhari dan Muslim ) Kesabaran itu adalah Cahaya. Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'Anhu brkata: "Kami menemukan kebahagian hidup bersama kesabaran". ( HR. Bukhari) Mari kita mendengar herannya Rasululah terhadap kehidupan orang-orang yang beriman di mana mereka selalu dalam kebaikan siang dan malam: "Sungguh sangat mengherankan urusannya orang yang beriman dimana semua urusannya adalah baik dan yang demikian itu tidak didapati kecuali oleh orang yang beriman. Kalau dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya dan kalau dia ditimpa mudharat mereka bersabar maka itu merupakan satu kebaikan baginya". 

As-Sa'dy rahilahullah mengatakan: "Rasulullah memberitakan bahwa seorang yang beriman kepada Allah berlipat-lipat ganjaran kebaikan dan buahnya dalam setiap keadaan yang dilaluinya baik itu senang atau duka. Dari itu kamu menemukan bila dua orang ditimpa oleh dua hal tersebut kamu akan mendapatkan perbedaan yang jauh pada dua orang tersebut, yang demikian itu disebabkan karena perbedaan tingkat kimanan yang ada pada mereka berdua". Lihat Kitab Al- Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa'idah halaman 12. Dalam meraih kebahagiaan dalam hidup manusia terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, orang yang mengetahui jalan tersebut dan dia berusaha untuk menempuhnya walaupun harus menghadapi resiko yang sangat dahsyat. Dia mengorbankan segala apa yang diminta oleh perjuangan tersebut walaupun harus mengorbankan nyawa. Dia mempertahankan diri dalam amukan badai kehidupan dan berusaha menggandeng tangan keluarganya untuk bersama-sama dalam menyelamatkan diri. Yang menjadi syi'arnya adalah firman Allah; Hai orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka. Karena perjuangan yang gigih tersebut, Allah mencatatnya termasuk kedalam barisan orang- orang yang tidak merugi dalam hidup dan selalu mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Al- 'Ashr 1-3 dan surat Al-Mujadalah 22. Mereka itulah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan merekalah pemilik kehidupan yang hakiki. Kedua, orang yang mengetahui jalan kebahagian yang hakiki tersebut namun dikarenakan kelemahan iman yang ada pada dirinya menyebabkan dia menempuh jalan yang lain dengan cara menghinakan dirinya di hadapan hawa nafsu. Mendapatkan kegagalan demi kegagalan ketika bertarung melawannya. Mereka adalah orang-orang yang lebih memilih kebahagian yang semu daripada harus meraih kebahagian yang hakiki di dunia dan di Akhirat kelak. Menanggalkan baju ketakwaannya, mahkota keyakinannya dan menggugurkan ilmu yang ada pada dirinya. Mereka adalah barisan orang-orang yang lemah imannya. Ketiga, orang yang sama sekali tidak mengetahui jalan kebahagiaan tersebut sehingga harus berjalan di atas duri-duri yang tajam dan menyangka kalau yang demikian itu merupakan kebahagian yang hakiki. Mereka siap melelang agamanya dengan kehidupan dunia yang fana' dan siap terjun ke dalam kubangan api yang sangat dahsyat. Orang yang seperti inilah yang dimaksud oleh Allah dalm surat Al-'Ashr ayat 2 yaitu "Orang-orang yang pasti merugi" dan yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 yaitu " Partainya syaithon yang pasti akan merugi dan gagal". Dan mereka itulah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sabda beliau: 

Di pagi hari seseorang menjadi mukmin dan di sore harinya menjadi kafir dan di sore harinya mukmin maka di pagi harinya dia kafir dan dia melelang agamanya dengan harga dunia . Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam hadits Rasulullah Shalallahu 'Alahi Wasallam, diantaranya adalah kebahagian hidup dan kemuliaannya ada bersama keteguhan berpegang dengan agama dan bersegera mewujudkannya dalam bentuk amal shaleh dan tidak bolehnya seseorang untuk menunda amal yang pada akhirnya dia terjatuh dalam perangkap syaithan yaitu merasa aman dari balasan tipu daya Allah Subhanahu Wata'ala. 

Hidup harus bertarung dengan fitnah sehingga dengannya ada yang harus menemukan kegagalan dirinya dan terjatuh pada kehinaan di mata Alllah dan di mata makhluk-Nya. Wallah 'Alam
Read More..

Bila Rasa Cemburu Telah Hilang

         
            Perhatikanlah, betapa banyak kita saksikan para wanita yang bertabaruj atau menampakkan keindahan perhiasan tubuhnya didepan umum. Kita lihat para wanita yang belajar dan bekerja diantara barisan para lelaki, mereka bekerja bersama lelaki sebagaimana salah seorang mereka bekerja bersama salah seorang keluarganya yang mahram, mengendarai mobil dan bersafar bersamanya Setiap insan pernah merasakan cemburu, namun adakah rasa cemburu tatkala melihat kemaksiatan ? 

Kini kita lihat bagaimana fenomena yang ada bila rasa cemburu telah hilang. Betapa banyak orang yang mengaku dirinya memiliki rasa cemburu, namun justru menanggalkan pakaian malu dengan melakukan perbuatan-perbuatan haram atau membiarkan kemaksiatan. Padahal Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah mewasiatkan kepada umatnya agar memiliki akhlak Al-Ghoiroh (cemburu). Beliau telah menerangkan kedudukan akhlak yang utama ini dalam sabdanya (yang artinya) : 

"Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala cemburu dan cemburunya Allah bila seseorang mendatangi apa yang Allah haramkan atasnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam menjelaskan bahwa Allah memiliki sifat cemburu bila dilanggar keharaman-keharamannya dan dilampaui batasan¬-batasannya, dan siapa yang telah melanggar apa yang Allah haramkan berarti telah (berani) melewati sebuah pagar yang besar. Akhlak AI-Ghoiroh ini begitu menghujam dalam hati para sahabat, karena perhatian dan kesungguhan mereka dalam mengikuti wasiat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam. Sa'ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu berkata : 

"Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukulnya dengan pedang sebagai sangsinya. Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda, "Apakah kalian takjub dengan cemburunya Sa'ad, sesungguhnya aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dari padaku". (HR. Bukhari). Akhlak ini juga berpengaruh dalam diri Aisyah Radhiyallahu ‘anha tatkala ia berkata : "Aku mendengar Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda :"Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak bersandal, telanjang dan belum berkhitan". Aku berkata, "Perempuan dan laki-laki berkumpul, (berarti) sebagian mereka akan melihat sebagian yang lain ?!" Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda, "Wahai Aisyah ! Urusan saat itu lebih mengerikan dari pada mereka saling melihat". (HR.Bukhari). 

Karena rasa cemburulah Aisyah Radhiyallahu ‘anha belum berfikir tentang ketakutan yang terjadi pada hari itu. Demikian pula Ali Radhiyallahu ‘anhu ketika diutus kesuatu negeri beliau berkata kepada penduduknya : "Aku telah mendengar bahwa wanita-wanita kalian akan mendekati orang-orang kafir azam di pasar-pasar, tidakkah kalian cemburu, sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak memiliki rasa cemburu." Begitulah Al-Ghoiroh yang besar dalam diri para sahabat dan akhlak ini akan tetap berpengaruh pada diri orang-orang yang berpegang teguh dengan atsar salaf dan mengikuti jalan mereka. 

Sebaliknya, al-ghoiroh hanya sekedar menjadi pengakuan bagi orang-orang yang ucapannya menyelisihi perbuatannya. Mereka mengaku memiliki rasa cemburu, namun membiarkan istri dan anak-anak perempuannya keluar rumah dengan menampakkan wajah, lengan, dada dan lekuk- lekuk tubuh, kemudian menjadi tontonan gratis para lelaki jalanan. Suami yang demikian hendaknya memperhatikan peringatan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam dalam sabdanya :

"Tiga gologan yang tidak akan masuk syurga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan dayuts." (HR. Nasa'i 5 :80-81; Hakim 1: 72, 4 : 146, Baihaqi 10 : 226 dan Ahmad 2 : 134). Dayuts ditafsirkan hadits-hadits lain, yaitu : Seorang kepala rumah tangga yang membiarkan kejelekan atau kerusakan dalam rumah tangganya. (Fathul Bari 10 : 401). Dayuts juga ditafsirkan oleh ulama : orang yang tidak cemburu terhadap istrinya. Karena tiadanya rasa cemburu, akhirnya nampaklah perbuatan-perbuatan yang mengotori rasa malu dan melemahkan muru'ah (wibawa) sebagaimana perbuatan wanita-wanita jahil zaman sekarang. Perhatikanlah, betapa banyak kita saksikan para wanita yang bertabaruj atau menampakkan keindahan perhiasan tubuhnya didepan umum. Kita lihat para wanita yang belajar dan bekerja diantara barisan para lelaki, mereka bekerja bersama lelaki sebagaimana salah seorang mereka bekerja bersama salah seorang keluarganya yang mahram, mengendarai mobil dan bersafar bersamanya atau kita lihat juga perginya seorang wanita bersama sopir pribadi ke tempat-tempat seperti pasar, sekolah dan lain-lain, tanpa rasa malu sedikitpun, bahkan sopir tadi dengan bebasnya keluar masuk rumah sebagaimana mahramnya tanpa wanita itu merasa berdosa dan malu pada sopirnya, dengan dalih ia hanya seorang sopir. Betapa banyak terjadi kesalahan dan pelanggaran kehormatan dengan sebab mengikuti hawa nafsu dan kebodohan.
Kita lihat pula perbuatan wanita yang membeli dan melihat majalah- majalah cabul dan film hina serta mendengarkan musik dan lagu. Atau perbuatan wanita yang menari dalam resepsi pernikahan dan berbagai pesta dengan diiringi hiruk-pikuknya suara musik serta mengenakan pakaian yang dapat membangkitkan syahwat. Lalu, apakah para wanita itu mengetahui apa makna malu yang sebenarnya?!!. Ataukah para wali-wali para wanita itu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki AI-Ghoiroh (cemburu) ?!! 

Sungguh hal itu amat jauh Oleh karena itu hendaklah kita kembali dan bertaubat kepada Allah aza wajalla dan menghisab atas apa yang telah kita lakukan berupa kebaikan dan keburukan. 

(Disadur dari Kutaib wa Asafa Alal Ghoiroh oleh Ummu Abdillah)
Read More..

Butuhnya Manusia akan Ilmu

             
                  Sebagaimana halnya makanan, yang dipergunakan manusia untuk kelangsungan hidup. Karena seandainya keimanan tidak dipupuk dengan ilmu, maka ibarat tanaman menjadi layu bahkan hancur. Sehingga tidaklah terwujud keberadaan iman seorang kecuali dengan ilmu. Al Imam Ahmad menyatakan : "Manusia sangat membutuhkan ilmu dari sekedar menyantap makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan oleh manusia sekali atau dua kali dalam sehari. Sedangkan ilmu ilmu dibutuhkan setiap saat." (Thobaqot Al Hanabilah 1/147) Bahkan seluruh makhluk Allah sangat butuh kepada ilmu. Karena tidak akan tegak urusan makhluk kecuali dengan ilmu. Langit-langit dan bumi bisa berdiri kokoh adalah dengan ilmu, begitu pula diturunkannya para rasul dan kitab-kitab-Nya juga dengan ilmu. Serta tidak akan diketahui perkara halal-haram kecuali dengan ilmu. 

Oleh karena itu, kewajiban seseorang dalam menuntut ilmu syar'i berlangsung hingga menjelang wafat. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam senantiasa menyampaikan dakwah dan nasehat hingga menjelang wafat beliau. Diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam Mustadraknya dan dia berkata : -di atas syarat dua syaikh- dari hadits Anas radliyallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda :
"Dua keinginan yang tidak pernah merasa puas darinya : "Keinginan terhadap ilmu dan tidak pernah merasa puas darinya, dan keinginan terhadap dunia dan tidak pernah merasa puas darinya. Nabi menjadikan keinginan terhadap ilmu dan tidak pernah merasa puas darinya sebagai komitmen iman dan sifat-sifat kaum mukminin. Oleh karena itu para imam kaum muslimin apabila dikatakan kepada mereka : "Sampai kapan engkau menuntut ilmu?" maka dia mengatakan : "sampai wafat!" Nu'aim bin Hammad berkata : "Aku mendengar Abdullah ibnul Mubarak radliyallahu'anhu berkata - sekelompok kaum mencelanya karena beliau sering menuntut ilmu hadits. Maka mereka mengatakan ; "sampai kapan engkau mendegarkan (hadits)? Beliau menjawab : "sampai mati!" Al Hasan bin Manshur Al Jashshosh berkata : "Aku mengatakan kepada Ahmad bin Hambal radliyallahu'anhu : "Sampai kapan engkau akan menulis hadits?" maka beliau mejawab : "Hingga wafat!" Abdullah bin Muhammad Al Baghawi berkata : "Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Sesungguhnya aku menuntut ilmu sampai masuk ke liang kubur." Muhammad bin Isma'il As Shooigh berkata : 

"Aku tinggal bersama ayahku di Baghdad, kemudian lewat di hadapan kami Ahmad bin Hambal dalam keadaan memegang sandal. Lantas ayahku menarik bajunya, dan berkata : "Wahai Abu Abdillah (panggilan Ahmad bin Hambal), apakah engkau tidak malu! sampai kapan engkau menuntut ilmu? Beliau menjawab : "sampai mati!" Demikianlah beberapa perkataan para ulama yang menerangkan begitu semangatnya mereka dalam menuntut ilmu. Sehingga mereka mencurahkan waktu dan tenaga untuk meraih lezatnya ilmu. Sesungguhnya bagi siapa saja yang memahami hikmah dibalik perintah menuntut ilmu tersebut niscaya dia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya sedikitpun dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dia akan merasa rugi tatkala luput dari manisnya ilmu. Dia akan memanfaatkan masa sehatnya untuk banyak menimba ilmu sebelum tiba masa sakit. Serta dia akan mengisi waktu hidupnya dengan hal-hal yang mengundang keridhoan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum ajal tiba. Begitulah seharusnya cerminan seorang mukmin yang mengharapkan perjumpaan Rabbnya. Seiring dengan itu, syetan juga tak pernah menyerah untuk menjerumuskan manusia ke lembah kebodohan. Sehingga dengan kebodohan seseorang terhadap ilmu mengakibatkan lemahnya keimanan dan minimnya ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sesungguhnya orang yang bodoh tidak mengetahui hakekat iman dan taqwa. Dan tidak mengetahui pula jalan untuk menuju keselamatan berdasarkan ilmu dan keyakinan yang mantap. Tentu saja hal ini semakin membuka peluang bagi syetan untuk menggiring orang tersebut kepada kemaksiatan dan kesesatan. Tatkala kebodohan telah merajalela, maka akan meningkat pula kemaksiatan, kriminalitas, cinta kepada dunia yang berlebihan dan takut apabila kematian menjemputnya, dan sebagainya. Semua Ini merupakan diantara sebab lemahnya kaum muslimin, sehingga Allah menimpakan kehinaan kepada mereka. Rasa gentar yang menghunjam pada jiwa-jiwa musuh-musuh Islam hilang seiring dengan dicabutnya kewibawaan kaum muslimin. Sehingga musuh-musuh kaum Muslimin tidak segan-segan untuk mengintimidasi dan memberangus persatuan kaum muslimin. Sementara mayoritas manusia terlena dengan kehidupan dunia yang fana ini dan melupakan akherat yang kekal abadi. Oleh karena itu diantara sifat-sifat penuntut ilmu yang diajarkan oleh rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam adalah ihklas dalam menuntut ilmu. Sebab dengan keikhlasan ini akan menghantarkan seseorang kepada tingkatan hamba yang sangat butuh kepada ilmu dan membentenginya dari riya' (ingin dipuji oleh orang lain) dan sebagainya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 
"Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari apa- apa yang dia cari dengannya wajah Allah Azza wa Jalla. Tidaklah dia belajar kecuali untuk memperoleh bagian dari dunia, maka dia tidak akan mencium wangi syurga pada hari kiamat." (HR Ibnu Majah, Al Muqadimah 1/252 dan Ahmad, Al Musnad 2/338) 

Dalam berhias dengan keikhlasan ini juga harus dibimbing dengan ilmu dan tidak cukup dengan modal semangat semata. Sebab berapa banyak orang yang pada awalnya ikhlas dalam melaksanakan amalan, namun tatkala berada di tengah perjalanan mengalami penurunan secara drastis. Ini semua tidak lepas daripada peran syetan dalam menggoda bani Adam. Syetan berupaya untuk memberikan rasa was-was di dalam diri manusia sehingga memperngaruhi keikhlasan.

Oleh karena itu peran ilmu sangat besar terhadap keikhlasan seseorang. Cukuplah bagi seorang muslim akan berita Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa ilmu merupakan sebaik-baik ganjaran dalam berbuat kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : 
"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan bagi orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan." (Az Zumar 33-35). 

Dan ini menunjukkan dua ganjaran baik di dunia dan akherat. Al Hasan Berkata : "Barangsiapa yang sangat baik peribadatannya kepada Allah pada masa mudanya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menganugerahkan hikmah (Ilmu) kepadanya tatkala beranjak dewasa." Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan tatkala dia (Nabi Yusuf) cukup dewasa kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberikan balasan kepada orang- orang yang berbuat baik." (Al Ilmu Fadluhu wa Syarfuhu 226-227) 

Demikian sifat dan kedudukan ilmu yang sangat mulia sebagai ganjaran yang paling berharga bagi seorang muslim yang ingin menggapainya. Oleh karena itu kebutuhan manusia terhadap ilmu merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar- tawar lagi. Jikalau ingin mendapatkan keberuntungan dunia dan akherat maka tempuhlah jalan ilmu syari'at. Sehingga dengan demikian Allah akan mempermudah baginya untuk menuju surga yang diidam-idamkan. Kita memohon kepada Allah agar dibukakan pintu hati kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Sehingga kita senantiasa butuh kepada ilmu yang bermanfaat. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa mencurahkan kepada jiwa kita perasaan cukup terhadap nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Amin Yaa Mujibas Saailin.
Read More..

Hukum Zakat Profesi

Tolong jelaskan hukum zakat profesi?

JAWAB: zakat adalah ibadah ,dan dalam beribadah hendaknya selalu berpatokan kepada dalil (tauqifiyyah). Dan tentang zakat profesi,tidak ada dalil baik dari Al-qur’an, maupun sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,atau ijmak, atau qiyas yang shohih. Dan tidak satu pun dari kalangan para Ulama salaf yang menyatakan disyari’atkannya. Mereka yang membolehkannya, memasukkan setiap profesi yang menghasilkan uang, termasuk diantaranya penghasilan pemain musik, penyanyi dan yang lainnya. Apakah mungkin Allah akan menerima zakat dari penghasilan yang haram. Lalu mereka pun berselisih dalam hal nisab,dan kadar yang dikeluarkan. Kesimpulannya, mewajibkan sesuatu kepada harta manusia apa-apa yang tidak diwajibkan oleh Allah ,adalah perkara yang diharamkan,dan termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil Allah Ta’ala berfirman: وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ 188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (QS,Al baqoroh:188)

. -- Al Ustadz Abu Karimah Askary --
Read More..

Membawa Mushaf Tertutup ke Dalam WC

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 
 
Ana pernah baca di suatu buku terjemahan ( bukan terjemahan penerbit salafy) fatwa-fatwa Syeikh Al Albani. Di sana dituliskan tentang membawa mushaf Al Quran ke dalam WC, dengan keadaan tertutup di dalam saku, di mana beliau membolehkannya apabila terjaga dalam keadaan tertutup. Bagaimana sebenarnya hukum dalam permasalahan ini? (ana sebelumnya beranggapan tidak boleh membawa ayat Al Quran dalam keadaan bagaimana pun) Waalaikumus salaam warohmatullahi wabarokatuh apa yang antum nukilkan dari Syekh Al-Albani rahimahullah Ta’ala yang menyebutkan bahwa beliau membolehkan membawa mushaf kedalam WC bila dalam keadaan tertutup dan terjaga adalah penukilan yang benar dari Beliau rahimahullah Ta’ala. Dan memang terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang hukum membawa mushaf kedalam WC : 1) Pendapat yang tidak membolehkan terkecuali dalam keadaan terpaksa, seperti bila dikhawatirkan dicuri dan yang semisalnya. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Syelh Bin Baaz rahimahullah dalam fatwanya dan Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah dalam dalam kumpulan fatwanya dan juga dalam As-syarhul mumti’, jil:1 ,ketika membahas tentang adab istinja, demikian pula Syekh Al- Fauzan rahimahullah dalam kumpulan fatwa beliau.Mereka beralasan karena mushaf adalah syi’ar agama ini ,dan Allah berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS.Al-Hajj:32) 2) Pendapat yang membolehkan, apabila mushaf tersebut terjaga dan tersimpan dengan baik dalam sakunya, tidak ditampakkan. Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah Ta’ala, sebagaimana yang beliau fatwakan dalam salah satu kaset yang terkumpul dalam silsilah al-huda wan-nuur. Dan beliau memiliki dua alasan: Pertama: asal hukumnya adalah boleh,dan tidak ada dalil yang melarangnya. Kedua: mengqiyaskan membawa mushaf tersebut dengan apa yang dihafal oleh seorang muslim berupa ayat-ayat al-qur’an, yang tentunya tersimpan dalam hatinya. Maka tidak ada perbedaan diantara keduanya,selama mushaf tersebut terjaga dan tersimpan dengan baik dan tidak dibuka. Adapun ayat tersebut dapat dijadikan sebagai dalil apabila mushaf tersebut dibuka didalam WC. Dan pendapat terakhir inilah yang ana pilih,wallahu A’lam. Namun apabila memungkinkan bagi seseorang untuk tidak membawa mushafnya ke dalam WC, tanpa ada kesulitan baginya,maka tentunya yang demikian lebih afdhal,sebagai bentuk khuruj (keluar) dari perselisihan dikalangan para Ulama. Faedah: Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah Ta’ala membedakan antara mushaf dengan sesuatu yang didalamnya terdapat nama Allah,dan semisalnya. Dimana beliau memakruhkan membawa mushaf,dan tidak memakruhkan selainnya,dengan syarat tersimpan dan tidak dinampakkan. Faedah kedua: Termasuk pula dalam hal ini, diperbolehkannya memasukkan sesuatu yang didalamnya terdapat ayat-ayat alqur’an ataukah mushaf,seperti bila terdapat dalam HP, atau mushaf digital, dan semisalnya.Dengan syarat tidak dinampakkan. Wallahu A’lam bis-showab. 
 
-- Al Ustadz Abu Karimah Askary --
Read More..

Siroh Nabi Dalam Berdagang

assalamukalaikum warohmatulahi wabarokaatuh dalam siroh nabi pernah di terangkan bahwa rasul pernah berniaga ikut paman nya, apa ada nash yang lengkap tentang rasul sampai mendapatkan hasil perniagaan yang berlimpah sehingga dapat menikahi ibunda Khadijah dengan mahar seratus unta merah, sukron wasalamukalaikum wr wb Wa'alaikumus salaam warohmatullahi wabarokatuh Yang ana ketahui sebagaimana yang disebutkan Imam Adz-dzahabi dalam siyar a’laam an- nubala’: 2/114, dan Beliau menukil dari Ibnu Ishaq rahimahullah,pengarang kitab siroh bahwa pada saat Khadijah radhiallahu anha menawarkan kepada Nabi (yang tentunya pada saat itu Beliau belum berstatus sebagai Nabi dan Rasul) untuk keluar membawa hartanya menuju Syam. Maka Beliau pun keluar bersama Maisaroh. Maka tatkala tiba kembali, maka Khadijah menghitung hasil dagangannya, maka hasil berlipat ganda. Maka Khadijah radhiallahu anha tertarik padanya, lalu Ia pun menawarkan dirinya kepada Rasulullah, dan Beliau menikahinya, dan memberi kepadanya mahar sebesar 20 ekor onta betina. Demikian pula yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam siroh-nya: 2/9. Dan ini pula yang dipegang oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wan-nihayah: 2/294,dan Shofiyyur Rohman AL-Mubarokfuri dalam kitabnya: Ar-Rohiiq Al-Makhtum: hal: 73. Namun Al-Imam Adz-Dzahabi menukil ucapan Ibnu Ishaq tanpa sanad, sehingga riwayat ini pun belum menunjukkan keshahihannya,untuk dapat dijadikan sebagai pegangan. Wallahu a’lam. Adapun yang ditanyakan riwayat mahar seratus ekor onta merah,hingga saat ini ana belum pernah mendapatkannya . Wallahu a’lam. -- Al Ustadz Abu Karimah Askary --
Read More..

Prinsip Imam Ahlus Sunnah Dalam Al Inshaf

Penulis: Al Ustadz Abdul Mu'thi 


A. Peran Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah 

Telah kita ketahui bersama bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah manhaj yang benar dan yang paling benar sehingga kita tidak membutuhkan lagi manhaj-manhaj yang lain. Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah telah membela dan menegakkan manhaj ini dari masa ke masa. Hal ini bisa kita saksikan dengan membaca buku-buku mereka yang mengandung bergudang-gudang ilmu di dalam menerangkan manhaj yang shahih ini. Bahkan tak jarang pula kita saksikan mereka membantah ahlul bid’ah dengan keras di dalam buku-buku mereka. Semua itu untuk menjaga Dien ini agar tetap bersih dari berbagai macam manhaj bid’ah yang selalu muncul pada setiap masa. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Akan selalu membawa ilmu ini orang-orang yang adil dari para penerus, mereka menghilangkan daripadanya perubahan dari orang yang melampaui batas (terhadap Dien), kebohongan ahlul bathil, dan pentakwilan orang-orang jahil.” (Hadits Hasan, lihat Ta’liq Al Hiththah oleh Syaikh Ali Hasan[1])

Ilmu yang dimaksud dalam hadits ini adalah Dien sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah : “Sesungguhnya ilmu ini adalah Dien. Maka lihatlah olehmu dari siapa kamu mengambil Dienmu.” (Muqaddimah Shahih Muslim 1/14) Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya, Miftah Daarus Sa’adah : “Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkan bahwa ilmu yang beliau datang dengannya akan selalu dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya yang ada di antara para penerus hingga ilmu tersebut tidak akan tersia-siakan dan tidak akan hilang[2].” Demikian pula pendapat Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya, Ad Dinul Khalish 3/261- 263 ketika menjelaskan hadits ini : “Maksud ilmu dalam hadits ini adalah ilmu Al Kitab dan As Sunnah yang akan dibawa di setiap jamaah yang datang sesudah Salaf oleh orang-orang yang adil di antara mereka yang selalu meriwayatkan ilmu tersebut. Mereka menghilangkan dari ilmu itu tahriful ghalim.” Artinya (tahriful ghalim adalah) perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas dalam perkara Dien. Arti kata tahrif adalah merubah Al Haq dengan kebathilan, baik perubahan secara lafadh maupun perubahan secara makna. Dan intihalul mubthilin maksudnya mereka menolak seluruh dustanya ahlul bathil. Kata intihal berarti seseorang mengakui sesuatu untuk dirinya dengan dusta, baik berbentuk syair atau perkataan dan kata ini adalah kiasan dari kedustaan. Ta’wiilul jahilin maksudnya mereka (orang adil dari generasi penerus) menolak seluruh takwil-takwil orang jahil dimana mereka melakukan takwil tidak dengan ilmu dan pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Akhirnya mereka memalingkan (makna ayat dan hadits) dari dhahirnya. Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi Al Atsary mengatakan dalam mengomentari hadits ini : “Maka peran dari orang yang membawa ilmu (Dien ini) sebagai ganti para Rasul, tegak di atas tiga dasar : 1) menolak perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan dalam Dien). 2) Membatalkan kebathilan. 3) Menyingkap kejahilan[3].” Syaikh Salim Al Hilali berkata : “Maka sesungguhnya membantah ahlul ahwa’ (pengikut hawa nafsu[4]) adalah pintu yang mulia dan termasuk daripada pintu-pintu jihad. Kenapa? Karena orang-orang yang melakukan (bantahan tersebut) berada pada kedudukan orang yang menjaga Dien ini. Mereka menghilangkan darinya tahrif yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw, melenyapkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang bathil, dan takwil yang dilakukan oleh orang- orang yang jahil. Mereka telah mengibarkan Al Haq dan menghunus pedang ilmu agar Islam tetap putih bersih, bersinar dengan sinar yang meliputi risalah yang diturunkan kepada penutup para Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam[5].” 
Maka dengan adanya beberapa penjelasan di atas kita ketahui bahwa merupakan sunnah para ulama Ahlus sunnah Wal Jamaah membantah ahlul bid’ah agar Dien ini tetap putih bersih sebagaimana asalnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku tinggalkan kamu dalam keadaan Dien ini putih bersih. Malamnya seperti siangnya yang tidak akan menyimpang daripadanya setelahku kecuali (hanya orang-orang yang) akan hancur.” (HR. Ahmad, shahih) Semua itu mereka lakukan dalam rangka memberi nasihat kepada umat ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Dien itu adalah nasihat (tiga kali).” Kemudian beliau bersabda : “Nasihat itu bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi para imam kaum Muslimin, dan kaum Musilmin umumnya.” (HR. Muslim) B. Sururiyah Dan Al Inshaf Sururiyah adalah satu pemahaman yang dinisbatkan kepada seorang mantan anggota ikhwanul muslimin yang bernama Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin. Pemahaman ini menggembar-gemborkan sikap adil di dalam mengkritik ahlul bid’ah, buku-bukunya, dan organisasinya (baca : hizb) dengan mewajibkan untuk menyebut kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Inilah yang diistilahkan dengan al inshaf. Pemahaman al inshaf gaya sururiyyah ini telah banyak mempengaruhi para pemuda Salafiyyin. Akibatnya mereka meninggalkan manhaj yang telah digariskan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dulu dan sekarang dalam mengkritik ahlul bid’ah. Cara bersikap mereka terhadap ahlul bid’ah pun menjadi rancu. Yang lebih tragis lagi, mereka menyangka bahwa al inshaf yang digembor-gemborkan pemahaman sururiyah itu adalah manhaj yang benar, manhajnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pemahaman al inshaf gaya sururiyah ini lambat laun menjadi mantap di dalam jiwa-jiwa mereka. Sikap Al Wala’ Wal Bara’ yang ada pada mereka menjadi lemah. Semestinya mereka memberikan Al Wala’ kepada Ahlus Sunnah yang membela Dien ini dan menjaganya dari berbagai macam pikiran sesat ahlul bid’ah dengan cara membantah, mengkritik ahlul bid’ah, karyanya, dan golongannya tanpa harus berbasa-basi menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka. Ini semua dalam rangka menasihati umat agar berhati-hati terhadap ahlul bid’ah. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Mereka --para pemuda Salafiyyin tersebut-- memberikan Wala’-nya (loyalitasnya) kepada ahlul bid’ah. Hal ini terbukti ketika Ahlus Sunnah mengkritik ahlul bid’ah tanpa menyebut kebaikan-kebaikan yang ada padanya, mereka beramai-ramai membela ahlul bid’ah dengan pemahaman inshaf yang mewajibkan untuk menyebut kebaikan ahlul bid’ah di dalam mengkritiknya. Yang lebih lucu lagi, mereka mengecam Ahlus Sunnah yang melakukan hal itu dan menganggap Ahlus Sunnah itu orang-orang yang kotor mulutnya, kasar, lancang, dan berbagai macam tuduhan-tuduhan lain yang mereka lontarkan dalam rangka membela ahlul bid’ah. Mereka menganggap ahlul bid’ah didzalimi karena tidak disebut kebaikannya. Sikap Bara’ yang ada pada mereka pun demikian pula keadaannya. Semestinya sikap itu mereka berikan kepada ahlul bid’ah yang telah merusak Dien ini. Tapi apa yang terjadi? Mereka justru mem-bara’ Ahlus Sunnah yang mereka anggap telah berbuat dzalim terhadap ahlul bid’ah. Termasuk juga akibat dari adanya pemahaman al inshaf versi sururiyah ini adalah kaburnya Al Haq di hadapan kebanyakan dari pemuda Salafiyyin (baca : Ahlus Sunnah) yang terpengaruh dengan pemahaman ini sehingga mereka tidak bisa membedakan mana manhaj yang haq dan mana yang bathil. Mereka menganggap sama seluruh manhaj-manhaj yang ada sekarang ini karena seluruhnya berada di bawah bendera Islam. Konon katanya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu adanya sikap tasamuh (toleransi) sesama manhaj. Nah, ucapan seperti inilah yang sering diucapkan para sururiyin dengan perkataan mereka : “Kita saling tolong-menolong pada perkara yang kita sepakati dan kita saling memaafkan pada perkara yang kita perselisihkan.” Tentu saja kalimat ini adalah kalimat yang haq, akan tetapi yang dimaksudkan dengannya adalah kebathilan karena dengan kalimat ini mereka (para sururiyin) mengambil sikap untuk toleransi dengan berbagai manhaj yang ada sekarang ini. Oleh sebab itu, dengan berbagai macam kejadian atau kenyataan seperti yang telah disebutkan di atas, perlu kiranya kita sebutkan beberapa buku yang ditulis oleh orang-orang yang telah terpengaruh oleh pemahaman al inshaf sururiyah ini agar para pemuda Salafiyyin menghindari buku-buku tersebut demi menjaga akidah dan manhaj mereka supaya tetap lurus di atas akidah dan manhaj yang benar seperti yang telah diajarkan para Salafus Shalih. Di antara karangan mereka (sururi) adalah : Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fi Taqwiim Ar Rijaal Wa Mu’allafaatihiim karya Ahmad Shuwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fin Naqdi Wal Hukmil Aakharin karya Ashshiny, Min Akhlaaq Ad Daa’iyah karya Salman Al ‘Audah, Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah karya Zaid Al Zaid, Al I’tidal Liman Araada Takwiim Al Jamaah Warrijal karya Al Muqthiri, dan banyak lagi karangan-karangan yang lain[6]. C. Beberapa Perkataan Sururiyin Mengenai Al Inshaf Dan Bantahannya Zaid Al Zaid di dalam kitabnya Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah berkata (dengan perkataan yang rusak, red.) : “Ketetapan yang kelima, adil di dalam mengkritik adalah sekaligus menyebutkan kebaikan- kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka yang namanya adil (dalam mengkritik) menuntut disebutkannya kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan secara bersamaan ketika itu. Dan tidaklah termasuk al inshaf (berlaku adil dalam mengkritik) sedikit pun orang-orang yang mengkritik suatu jamaah dari jamaah-jamaah Islamiyah atau suatu umat dari umat-umat Islamiyah dengan hanya menyebutkan kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan, dan keburukan-keburukan (suatu jamaah atau suatu umat tertentu) saja. Sesungguhnya (kritikan) seperti ini melampaui batas al adl (keadilan) dan juga menyia-nyiakan kebenaran yang ada pada jamaah (atau umat) tersebut[7].” Berkata (dengan perkataan yang rusak, red.) Salman Al Audah tentang al adl[8] : “Maka ketika kamu meneliti suatu kitab bukanlah termasuk al adl (keadilan) jika kamu hanya mengatakan, sesungguhnya (kitab ini) mengandung hadits-hadits dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu) -- misalnya-- (atau mengandung) pendapat-pendapat yang ganjil sehingga dengan demikian kamu hanya menyebutkan sisi kedhalimannya saja dan melupakan sisi yang lain yang ada dalam kitab tersebut yakni sisi yang mengandung pengarahan-pengarahan yang berfaidah atau pembahasan- pembahasan ilmiah. Sesungguhnya jika kamu hanya menyebutkan sebagian saja (dari isi suatu kitab) dan mengabaikan sebagian yang lain daripadanya, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak amanah (yakni tidak menjaga amanah). Kebanyakan dari manusia semata-mata melihat satu kesalahan pada suatu kitab karena membawakan sebuah hadits yang dhaif atau mempunyai kesalahan pada suatu permasalahan. Setelah itu dia langsung meninggalkannya dan memberi peringatan kepada manusia agar meninggalkannya pula. Kalau kita lakukan sikap seperti ini kepada kitab-kitab Ahlul Ilmi maka tidak akan tersisa bagi kita satu kitab pun.” Kemudian dia (Salman Al Audah) berkata kembali (dengan perkataan yang rusak, red.) pada halaman berikutnya[9] : “Sikap yang adil (al adl) adalah kita mengambil ini dan itu kemudian kita letakkan yang ini pada satu tangan timbangan dan yang lain pada tangan timbangan yang lain hingga jadilah timbangan itu lurus dan sama berat[10].” Berkata pula tokoh mereka (sururi) yang lain, Ahmad Ash Shuwayyan : “Yang kelima, perimbangan antara perkara yang positif dan perkara yang negatif adalah apabila telah jelas bahwa manusia bagaimanapun kedudukannya mempunyai kebenaran dan kesalahan maka tidak boleh bagi kita membuang seluruh ijtihad-ijtihadnya. Bahkan kita melihat pendapatnya yang sesuai dengan kebenaran dan kita berpegang dengan pendapatnya kemudian kita berpaling dari berbagai macam kesalahannya. Maka perimbangan (Al Muwazanah) antara perkara yang positif dan perkara yang negatif seperti inilah yang dinamakan al adl (keadilan) dan al inshaf[11].” Membaca beberapa nukilan di atas kita melihat apa yang dikatakan oleh para sururiyin tersebut seakan-akan merupakan suatu kebenaran sehingga banyak dari kalangan Salafiyyin (Ahlus Sunnah) terpengaruh dengannya. Padahal tidak demikian. Kalau kita lihat bantahan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap apa yang mereka katakan itu kita baru akan mengetahui betapa bahayanya apa yang mereka katakan dan alangkah salahnya pemahaman mereka itu. Di antara ulama Ahlus Sunnah yang membantah perkataan mereka ialah Syaikh Abu Ibrahim bin Sulthan Al Adnani. Menanggapi perkataan Zaid Al Zaid, beliau berkata : [ Atas perkataan seperti ini maka orang yang mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan kejahatan-kejahatan seseorang, suatu kelompok atau kaset, dan lain-lain (di dalam mengkritik) adalah orang yang tidak adil bahkan berbuat dzalim di dalam menghakiminya. Perkataan seperti ini mengharuskan bahwa orang yang hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan saja (di dalam menilai) juga termasuk orang yang dzalim dan ini jelas merupakan konsekuensi yang rusak. Sedangkan konsekuensi suatu perkataan apabila rusak menunjukkan rusaknya perkataan tersebut. Hal ini akan lebih jelas bila kita melihat firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Sungguh telah kafir orang yang mengatakan : “Sesungguhnya Allah salah satu dari yang tiga … .” (QS. Al Maidah : 73) Pada ayat ini Allah menyebutkan kejahatan-kejahatan (nashara) dan tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Maka apakah hal ini bisa dikatakan keadilan atau kedhaliman? Akan tetapi, memang sudah merupakan manhaj mereka untuk membikin indah (suatu pendapat). Akhirnya mereka juga memperindah (pendapatnya yang di atas) agar mereka dapat melaksanakan apa yang dikehendaki … dan seterusnya[12]. ] Dalam membantah perkataan Salman Al Audah, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata : “Al Adl (keadilan) lawan dari Al Juur (kedhaliman). Maka apabila didapati bid’ah-bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan pada suatu kitab kemudian seorang Muslim menyebutkan (kebid’ahan dan penyimpangan-penyimpangan tersebut) dalam rangka menasihati dan memberikan peringatan kepada kaum Muslimin (agar berhati-hati daripadanya), tidak bisa hal ini dikatakan termasuk daripada perbuatan dhalim sedikitpun. Permisalannya seperti seseorang yang mempunyai keburukan dan kebid’ahan kemudian kamu sebutkan apa yang dia punyai itu dalam rangka memberi nasihat. Maka tidak bisa penyebutan itu sebagai suatu kedhaliman atau perbuatan ghibah bahkan termasuk dari pintu nasihat dan ini adalah suatu perkara yang sudah diakui oleh para ulama Islam … . Sesungguhnya kedhaliman itu adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan penyebutan keburukan-keburukan dan kebid’ahan- kebid’ahan yang ada pada kitab-kitab dan orang-orang dalam rangka menasihati kaum Muslimin adalah perkara yang dianjurkan di dalam syariat. Ini dapat memberikan maslahat (kebaikan) dan menolak kerusakan-kerusakan. Seharusnya dia (Salman) mengatakan (pendapatnya) ini dalam berbuat adil terhadap nash-nash. Akan tetapi nampak bagiku dari perbuatan-perbuatannya kalau dia mengumumkan pemakaian sikap al adl seperti ini di dalam mengkritik orang-orang dan kitab- kitab tertentu. Memang sikap adil dianjurkan dan harus digunakan. Akan tetapi penyebutan keburukan-keburukan dan berbagai kebid’ahan untuk menasihati kaum Muslimin itu tidak harus bersamaan dengan disebutkannya kebaikan-kebaikan karena dengan demikian akan hilang tujuan menasihati. Dan orang yang dinasihati akan menjadi kabur pemahaman Al Haq (kebenaran) baginya. Kemudian juga tidak ada nash-nash yang berjalan di atasnya (di atas manhaj inshaf tadi) dan tidak pula ada pada amalan para Salafush Shalih.” Selanjutnya Syaikh Rabi’ membantah perkataan Ahmad Shuwayyan dengan mengatakan : [ Tidak ada perselisihan dalam permasalahan ini jika terhadap imam mujtahidin yang mereka berijtihad untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya baik secara bathin maupun dzahir. Dan mereka pada keadaan yang demikian berusaha mencari Al Haq dengan ijtihadnya sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada mereka. Maka mereka mendapatkan dua pahala jika mereka benar dan mendapatkan satu pahala jika salah dan telah lewat penjelasan tentang mereka. Akan tetapi pembicaraan kita adalah pada ahlul bid’ah, ahlul dhalal, dan ahlul jahl. Allah berfirman tentang mereka : “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang membuat syariat (bid’ah) untuk mereka dalam agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura : 21) Dan Allah juga berfirman : Katakanlah : “Rabbmu hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33) Pembicaraan kita juga pada orang-orang yang berani berfatwa tanpa ilmu dan orang-orang yang membuat manhaj. Mereka meletakkan kaidah-kaidah dan membentuk ushul-ushul yang seluruhnya jauh dari manhaj Islam tanpa dalil-dalil dan keterangan-keterangan. (Pembicaraan) juga tertuju pada orang yang Allah firmankan tentang mereka. “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu serta dusta, ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang- orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An Nahl : 116) Demikian pula pada pengikut-pengikut mereka (orang-orang yang telah disebutkan di atas) yang mana Allah juga berfirman tentang orang yang semisal mereka : “Mereka menjadikan orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah.” (QS. At Taubah : 31) Pengikut mereka ini adalah orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebagai jawaban terhadap perkataan Adi bin Hatim ketika ia mengatakan : “Demi Allah, kami tidak pernah mengibadahi mereka (para alim dan rahib-rahib itu).” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukankah mereka menghalalkan yang haram kemudian kalian juga ikut menghalalkannya. Dan bukankah mereka mengharamkan yang halal kemudian kalian ikut mengharamkannya?” Adi menjawab : “Benar.” Nabi bersabda lagi : “Itulah namanya mengibadahi mereka.” (Hadits hasan riwayat Tirmidzi dan Baihaqi) Kewajiban membedakan antara ulama mujtahidin dengan golongan-golongan manusia (seperti yang disebutkan di atas) itu sama dengan kewajiban membedakan antara orang yang berpegang dengan Al Haq, mengambil pendapat para ulama mujtahid yang sesuai dengan (Al Haq) yang Rasul datang dengannya dan menolak yang menyelisihinya dengan orang-orang yang tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah pendapatnya dari para ulama mujtahid tersebut, tidak menjauhkan diri dari mensucikan ahlul bid’ah dan ahlul jahl, mengambil pendapat-pendapat mereka yang bathil, manhaj, dan dasar-dasar mereka yang rusak. Aku tidak melihat Al Akh Suwayyan membedakan jenis-jenis manusia ini. (Sebenarnya) wajib atasnya membeda-bedakan dengan jelas dan mempunyai perhatian untuk menjelaskan bahayanya bid’ah serta berhati-hati daripadanya dan ahlul bid’ah. Uslub seperti ini --yaitu lemahnya perhatian terhadap perkara bid’ah-- telah menjadi kesenangan bagi kebanyakan para da’i dan pembaharu. Bahkan kamu akan mendapati para dai tersebut membela ahlul bid’ah, memuji mereka, meninggikan sebutan mereka, dan bahkan juga menganggap sebagian tokoh ahlul bid’ah sebagai pembaharu atau imam-imam tajdid. Di sana terdapat buku-buku (yang dikarang para dai tersebut) yang ditulis untuk membela jenis-jenis manusia (yang telah disebutkan di atas). Tidak ada pada mereka (para dai) semangat untuk berpegang kepada Al Haq dan tidak ada pula kesiapan untuk membedakan Al Haq dan Al Bathil. Lisan mereka mengatakan : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka[13].” (QS. Az Zukhruf : 22) ] D. Beberapa Fatwa Para Ulama Mengenai Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Seseorang, Kitab, dan Kelompok-Kelompok Sebenarnya Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai manhaj di dalam mengkritik. Manhaj itu telah diwariskan kepada kita oleh para ulama yang dulu maupun sekarang. Salah satu contoh dari mereka --ulama mutaqaddimin (terdahulu)-- seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang tidak diragukan lagi pengorbanan beliau untuk Islam dan sikapnya yang tegas dan keras dalam mengkritik ahlul bid’ah. Beliau tidak pernah mengharuskan bagi dirinya ataupun orang lain untuk menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan penyebutan keburukan-keburukan dalam mengkritik. Beliau juga tidak pernah menganggap orang yang melakukan hal yang demikian dalam mengkritik sebagai orang yang dhalim, tidak adil, dan tidak bersikap inshaf. Ini karena memang sikap adil dan inshaf dengan cara mengharuskan untuk menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan dengan keburukan-keburukan dalam mengkritik itu tidak pernah diajarkan oleh para Salafush Shalih. Bahkan kalau kita lihat kitab karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diantaranya Majmu’ Fatawa seringkali beliau dalam kitab tersebut mengkritik ahlul bid’ah dari berbagai macam golongan dengan tidak menyebut kebaikan yang ada pada mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh seorang ulama besar yang bernama Hasan Al Bashri. Beliau pernah berkata : “Apakah kamu benci untuk menyebutkan (keburukan-keburukan) orang yang jahat? Sebutkanlah (keburukan-keburukan) itu oleh kamu sekalian agar manusia berhati-hati daripadanya.” Dan telah diriwayatkan pula yang seperti ini secara marfu’. (Lihat Tafsir Suratun Nuur karangan Ibnu Taimiyyah tahqiq Ali Hasan Ali Abdul Hamid) Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab berbicara pula di dalam Syarah Ilalut Turmudzi 1/50, berkata Ibnu Abi Dunya, menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Mawardzi, aku mendengar Rafi’ bin Asyras berkata : “Pernah ada orang yang mengatakan termasuk daripada hukuman pendusta adalah tidak diterima kejujurannya dan aku katakan termasuk daripada hukuman orang yang fasik yang mubtadi’ adalah jangan disebutkan kebaikan-kebaikannya.” Al Muhaqqiq berkata, Al Kankauhi berkata dalam kitab Al Kawkabud Durri 1/347 : “ … maka ketahuilah bahwa boleh bahkan wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada manusia aibnya (ahlul bid’ah) dan mencegah mereka dari mengambil ilmu darinya (ahlul bid’ah). Ini adalah madzhab Salaf dan hukum-hukum mereka serta muamalah mereka terhadap kitab-kitab dan pengarangnya serta ahlul bida’. Sebagaimana bisa engkau lihat pada perkataan Ibnu Taimiyyah, Imam Al Baghawi, Imam As Syathibi, Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Khatib Al Baghdadi, Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad dan para Salaf seluruhnya[14]. Dan sikap ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mutaqadimin yang seperti ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali dalam kitabnya Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif. Di bawah ini akan disebutkan beberapa fatwa dari para masyaikh ketika ditanya tentang manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik. Soal 1 : Jika dinisbatkan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik ahlul bid’ah dan kitab-kitab mereka apakah termasuk wajib menyebut kebaikan ahlul bid’ah bersamaan dengan kejahatan-kejahatan mereka? Atau cukup hanya dengan menyebut kejahatan-kejahatan mereka saja? Jawab : Suatu hal yang ma’ruf di dalam perkataan Ahlul Ilmi bahwa mengkritik keburukan fungsinya adalah untuk memberi peringatan dan menerangkan kesalahan-kesalahan ahlul bid’ah yang mereka bersalah padanya. Juga untuk memberi peringatan agar berhati-hati. Adapun kebaikan- kebaikan (mereka) sudah ma’ruf dan kebaikan-kebaikan itu bisa diterima (walaupun tidak disebutkan). Akan tetapi maksud (dari menyebut kesalahan-kesalahan mereka saja) adalah untuk memberi peringatan agar berhati-hati dari kesalahan mereka seperti menyebutkan Jahmiyah (demikian) … Mu’tazilah … Rafidhah dan firqah-firqah lain yang sejenis. Maka jika sangat dibutuhkan untuk menerangkan kebenaran apa yang ada pada mereka boleh saja diterangkan dan jika ada yang bertanya kebenaran apa yang ada pada mereka (ahlul bid’ah)? Pada perkara apa mereka mencocoki Ahlus Sunnah? Apabila yang ditanya mengetahui hal itu dia (bisa) menerangkannya. Akan tetapi tujuan yang paling terbesar dan terpenting menerangkan kebathilan-kebathilan yang ada pada mereka agar orang yang bertanya itu berhati-hati dan hatinya tidak cenderung kepada mereka. Kemudian ada pula yang bertanya kepada Syaikh Bin Bazz : “Bagaimana jika ada orang yang mewajibkan al muwazanah (perseimbangan) yakni jika kamu mengkritik seorang mubtadi’ (ahlul bid’ah) karena bid’ahnya agar kamu dapat memberi peringatan kepada manusia supaya berhati- hati darinya wajib pula kamu menyebutkan kebaikan-kebaikannya hingga kamu tidak mendzalimi dia?” Maka Syaikh Bin Bazz menjawab : “Tidak demikian keadaannya. Hal yang demikian itu tidak harus dilakukan karena apabila kamu membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah (yang menyebutkan keburukan ahlul bid’ah saja) maka kamu akan dapati tujuannya adalah memberi peringatan agar berhati-hati (dari ahlul bid’ah). Coba baca kitab-kitab karya Bukhari (seperti) kitab Khalqu Afalil Ibaad, Kitabul Adab yang ada di dalam Shahih-nya. Demikian juga kitab At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah kemudian kitab Rad Utsman bin Said Ad Darimi ala ahlil bida’ dan kitab-kitab lainnya. Mereka (para ulama) mengarangnya dalam rangka memberi peringatan agar berhati-hati dari kebathilan-kebathilan ahlul bid’ah. Lalu apa maksudnya menyebutkan kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah itu sedangkan tujuan (mengkritik ahlul bid’ah) sudah jelas untuk berhati-hati dari kebathilan-kebathilan mereka? Di samping itu kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah tidak ada nilainya kalau diukur dengan orang-orang yang menjadi kafir diakibatkan oleh kebid’ahannya. Yang ini dapat mengkafirkan dia hingga batallah kebaikan-kebaikannya itu. Dan jika kebid’ahannya tidak sampai mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya. Oleh karena itu tujuan dalam mengkritik adalah menerangkan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang kita wajib berhati-hati darinya.” (Dikutip dari kaset rekaman salah satu pelajaran Syaikh Bin Bazz setelah shalat Fajar di Thaif tahun 1413 H) Soal 2 : Apakah disyaratkan di dalam manhaj Salaf, al muwazanah (keseimbangan) antara kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan dalam penyebutan ketika mengkritik ahlul bid’ah? Jawab : (Syaikh Abdul Aziz Muhammad Salman hafidhahullah) : “Ketahuilah, semoga Allah membimbing kita dan kamu serta seluruh kaum Muslimin bahwa tidak pernah didapatkan atsar yang datang dari salah seorang dari kalangan Salafush Shalih baik itu para shahabat maupun tabi’in (orang yang mengikuti mereka dengan ihsan), yang mengagungkan seorang ahlul bid’ah pun atau orang- orang yang berwala’ kepada ahlul bid’ah atau mengagungkan orang yang mengajak berwala’ kepada ahlul bid’ah. Ahlul bid’ah itu orang yang berpenyakit hatinya. Orang yang bercampur dengan mereka atau berhubungan dengan mereka dikhawatirkan akan terkena penyakit (bid’ah) mereka yang berbahaya ini karena orang sakit itu akan menjangkiti orang yang sehat dan tidak sebaliknya. Maka berhati-hatilah dari seluruh ahlul bid’ah. Dan termasuk ahlul bid’ah yang wajib dijauhi dan ditinggalkan adalah Al Jahmiyah, Rafidlah, Al Mu’tazilah, Al Maturidiyyah, Al Khawarij, Shufiyah, Al Asy’ariyyah dan siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka dari golongan yang menyimpang dari jalan para Salaf. Maka sepantasnya bagi seorang Muslim untuk berhati-hati terhadap ahlul bid’ah dan juga memberi peringatan (kepada orang lain) agar berhati-hati dari mereka.” Di samping permasalahan sekitar jamaah-jamaah (yang ada), pertanyaan yang senada pun pernah pula ditujukan kepada Syaikh Shalih Fauzan seperti yang dikutip di bawah ini : Soal 3 : Apakah Anda memberi peringatan agar berhati-hati dari (keburukan-keburukan) mereka tanpa Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka? Atau akan Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka bersamaan dengan keburukan-keburukan mereka? Jawab : Apabila engkau sebutkan kebaikan mereka berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan kamu sebutkan kebaikan mereka!!! Sebutkanlah kesalahan-kesalahan mereka saja karena engkau tidak ditugaskan untuk mempelajari perbuatan (baik) mereka dan mendukungnya. Tetapi engkau ditugaskan menjelaskan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka bertaubat dan orang lain dapat berhati-hati dengannya. Adapun jika engkau sebutkan kebaikan-kebaikan mereka maka mereka akan berkata : “Semoga Allah membalasimu dengan kabaikan, inilah yang kami cari … .” (Dikutip dari kaset rekaman pelajaran ke-3 Kitab At Tauhid oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di Thaif tahun 1413 H)[15] E. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Kalau kita memperhatikan Al Qur’an kita akan mendapati bahwa Allah memuji kaum Mukminin tanpa menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka agar manusia tergerak hatinya untuk mencontoh mereka dan berjalan di atas jalan mereka. Sebaliknya, Allah mencela orang-orang kafir dan munafiq dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dalam rangka inshaf seperti Allah menyebutkan kekufuran, kefasikan, kemunafikan yang ada pada mereka dan mensifatkan mereka dengan ketulian, kebisuan, kebutaan, kesesatan, kebodohan, dan seterusnya. Allah tidak menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka karena memang tidak pantas untuk disebutkan walaupun mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan. Maka kalau dikatakan bahwa orang yang mengkritik dengan menyebutkan kesalahan saja tanpa menyebutkan kebaikan itu tidak berlaku adil dan tidak inshaf apakah akan kita juga mengatakan bahwa Allah tidak adil dan tidak inshaf? Maha Suci Allah dari perkataan seperti ini. Dan kalau kita perhatikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau sangat keras memberi peringatan agar berhati-hati dari ahlul bid’ah (pengikut hawa nafsu). Beliau tidak memandang kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka karena kesalahan-kesalahan mereka lebih berbahaya dari maslahat yang dapat diambil dari kebaikan-kebaikannya. Dalam sebuah hadits disebutkan : Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membaca ayat (yang artinya) : “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat (ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah), itulah Ummul Kitab (Ummul Qur’an) dan yang lain mutasyabihat (yang samar-samar belum dipahami maksudnya atau hanya Allah saja yang faham maksudnya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari Rabb kami.’ Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran : 7) Aisyah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila engkau lihat orang- orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat maka mereka itulah orang yang telah Allah sebutkan (pada ayat di atas) dan berhati-hatilah kamu sekalian terhadap mereka.” (HR. Bukhari Muslim) Dari hadits ini kita dapat mengambil pelajaran tentang manhaj yang shahih di dalam mengkritik ahlul bid’ah, yakni memberi peringatan agar berhati-hati dari kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada kita agar berhati-hati dari orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat tanpa beliau menoleh kepada kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Beliau tidak menyatakan Ambillah faidah dari kebaikan-kebaikan mereka dan sebutlah kebaikan- kebaikan mereka itu. Walaupun jelas mereka juga mempunyai kebaikan-kebaikan tapi kebathilannya lebih besar daripada kebaikannya. Jadi sangat menyedihkan sekali kalau sekarang kita dapati banyak dari orang-orang yang mengaku menisbahkan dirinya pada manhaj Salaf memberikan wala’-nya kepada ahlul bid’ah, membela manhaj mereka dan kitab-kitab mereka, dan memberi peringatan agar berhati-hati terhadap Ahlul Haq dan Ahlus Sunnah yang keras terhadap ahlul bid’ah. Semoga Allah menunjuki mereka! Sikap ini pun telah ditunjukkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang memperingatkan agar berhati-hati dari orang-orang khawarij dimana beliau telah menyebutkan tanda-tandanya kepada para shahabat dengan sabdanya : “Bacaan (Al Qur’an)-mu tidak bisa mengimbangi bacaan (Al Qur’an) mereka sedikitpun. Shalat kamu tidak bisa mengimbangi shalat mereka sedikitpun. Mereka membaca Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an itu dalil bagi mereka padahal hujjah atas mereka. Makna shalat mereka tidak melewati tenggorokan mereka dan mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.” Dalam riwayat lain : “Sesungguhnya jika aku mendapati mereka, aku akan bunuh mereka seperti membunuh kaum Tsamud.” (HR. Muslim) Di sini kita dapati bahwa walaupun (orang-orang khawarij) itu hamba-hamba yang ikhlas di dalam membaca Al Qur’an, shalat, dan puasa mereka tidak dapat diimbangi oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ternyata justru kebaikan-kebaikan mereka itu menjadi celaan dan tanda kesesatan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya dan kalau Rasulullah mendapatkan mereka beliau akan membunuh mereka. Inilah manhaj yang diajarkan Rasulullah kepada kita di dalam mentahdzir (memberi peringatan agar berhati-hati) dari ahlul bid’ah. Beliau tidak menoleh sedikitpun kepada kebaikan mereka. Kebaikan mereka bahkan bisa menjadi tanda kesesatan mereka sebagaimana yang terjadi pada orang-orang khawarij tersebut. Sikap seperti inilah yang telah diwariskan para ulama Salaf kepada kita. Di antara sikap ulama Salaf terhadap ahlul bid’ah dapat dilihat pada pernyataan-pernyataan mereka berikut ini : 

Ibnu Umar berkata tentang ahlul qadar : “Kabarkan kepada mereka, aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri daripadaku.” Abu Qilabah berkata : “Jangan kamu bermajelis bersama ashhabul ahwa (pengikut hawa nafsu).” Atau dia berkata : “Bersama ashhabul khushumat (orang yang suka berbantah-bantahan) karena aku merasa khawatir kalau mereka dapat menenggelamkanmu dalam kesesatan mereka dan membuat samar kepadamu perkara yang sudah kamu ketahui.” Seorang ahlul bid’ah berkata kepada Ayub As Sikhtiyaani : 

“Ya Abu Bakr, aku hendak bertanya kepadamu tentang satu kalimat!” Maka Ayub berpaling daripadanya dan mengatakan : “Tidak!!! (Walaupun) setengah kalimat[16].” Demikianlah telah kita lihat bagaimana sikap para shahabat, tabi’in, dan para Imam Islam terhadap ahlul bid’ah. Mereka keras terhadap ahlul bid’ah tanpa menoleh sedikitpun kepada kebaikan-kebaikan mereka. Hal ini menunjukkan kesungguh-sungguhan mereka terhadap tujuan- tujuan Islam karena adanya kaidah yang berbunyi : “Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan[17].” Maka dengan adanya keterangan-keterangan di atas jelaslah sudah bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam mengkritik ahlul bid’ah adalah dengan menjelaskan kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka agar tidak kabur makna nasihat. Sedang mengatakan yang bathil adalah bathil itu merupakan kewajiban sekaligus keadilan meskipun kepada karib kerabat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al An’am ayat 152 yang artinya :

“Dan apabila kamu berkata maka berlaku adillah walaupun kepada karib kerabat.” Para ulama menafsirkan : Yaitu katakanlah yang haq. (Lihat Tafsir Ath Thabari 5/395, Aisarut Tafasir 2/141 karya Abu Bakar Al Jazairi, Ad Durrul Mantsur 3/385 karya As Suyuthi, dan Fathul Majid halaman 36) Ini dalam rangka untuk menasihati umat agar berhati-hati dari mereka dan kebathilan mereka. Manhaj ini adalah manhaj yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, para shahabat, tabi’in, dan para Imam-Imam Islam. Dan perlu ditegaskan lagi bahwa al adl (keadilan) atau al inshaf yang benar dalam mengkritik adalah berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dimana manhaj yang haq ini berbeda dengan manhaj sururiyah. Akhirul kalam, kita berharap kepada Allah agar Allah menetapkan hati kita semua di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kita berharap agar Dia tetap menjaga kita dari berbagai macam penyimpangan, di antaranya penyimpangan yang dilakukan oleh paham sururiyah ini. Kita juga berharap kepada Allah semoga Dia menunjuki para pemuda Salafiyyin yang terjerumus ke dalam pemahaman sururiyah dan ke dalam pemahaman-pemahaman bid’ah yang lain agar kembali kepada manhaj Salaf, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan demikian berkibarlah bendera- bendera Sunnah dan hancurlah bendera-bendera bid’ah. Amiin Ya Rabbil Alamiin, Wallahu ‘Alam Bish Shawab. 


[1] Lihat ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Kitab Al Hithah fi Dzikir Sihhatis Sittah karya Siddiq Hasan Khan rahimahullah ta'ala. [2] Miftah Darus Sa'adah 1/163, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. [3] Lihat At Tashfiyyah wat Tarbiyyah karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 25 cetakan Daarut Tauhid. [4] Termasuk di dalamnya ahlul bid'ah. [5] Dikutipkan dari kata sambutan Syaikh Salim Al Hilaly terhadap kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdi Rijal wal Kutub wat Thawaaif karya Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali halaman 11. [6] Quthbiyyah halaman 19, karangan Abi Ibrahim bin Sulthan Al Adnaani. [7] Pemahaman seperti ini juga disebutkan di dalam kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin karya Ahmad Suwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fin Naqdi wal Hukum alal Akharim karya Ash Shini halaman 27 dan Qawaaaidil Itidal karya Al Maqthiri halaman 33. [8] Lihat kitab Min Akhlaaqid Da'iyah karya Salman Al Audah halaman 40. [9] Lihat kitab yang sama halaman 47. [10] Maksudnya kita mengambil seluruh isi kitab yang baik dan yang buruk kemudian yang baik kita letakkan pada suatu anak timbangan dan yang buruk pada anak timbangan yang lain maka timbangan akan sama berat. Jadi kalau kita mengkritik haruslah menyebutkan kebaikan dan keburukan dan kalau tidak maka tidak bisa dikatakan adil.
Wallahu a'lam bish shawab.

[11] Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wl Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin halaman 27. Di sini kita cukupkan hanya beberapa nukilan saja dari perkataan-perkataan mereka (sururiyin) sebagai kesimpulan dari perkataan-perkataan yang lain. [12] Lihat Al Quthbiyyah halaman 30-31. [13] Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaaif halaman 45- 48. [14] Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 127-149. [15] Fatwa-fatwa ini dikutip dari muqaddimah Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 8-10. [16] Lihat Syarhus Sunnah karangan Imam Al Baghawi 1/227. [17] Keterangan yang lebih jelas tentang bab ini lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 23-32.

(http://www.assunnah.cjb.net/)
Read More..